Allah berfirman dalam surat Asy Syam ayat 9, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.”
Para salafush shalih seperti, Qatadah bin An Nu’man, Mujahid bin Jabr, Ikrimah bin Abu Jahal dan Sa’id bin Jubair, ketika membahas tentang ayat ini, mereka menyampaikan bahwa, orang yang beruntung adalah yang mensucikan jiwanya dengan melakukan ketaatan kepada Allah.
Sedangkan, sebaliknya, jika meninggalkan ketaatan kepada Allah dan melakukan perbuatan maksiat, maka ia sejatinya telah mengotori jiwa dan akan sangat merugi. Seperti tertera di ayat selanjutnya (Asy Syams ayat 10), yang berbunyi, “Dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.”
Dalam upaya mensucikan diri, tak ada jalan selain melakukan ketaatan kepada Allah, dan keberuntungan akan mutlak mengikuti hal tersebut. Beruntunglah orang-orang yang Allah berikan hidayah untuk melakukan ketaatan. Itu adalah keuntungan dan nikmat yang paling tinggi derajatnya, melebihi apa pun yang ada di dunia. Maka berdoalah, semoga Allah tetapkan kita dalam hidayah-Nya.
Sejatinya ketaatan itu mendatangkan keberuntungan, baik di dunia maupun di akhirat. Baik itu secara langsung, atau mungkin membutuhkan waktu dan proses. Sementara kemaksiatan mendatangkan kerugian. Itu janji Allah.
Seringkali ikhtiar memelihara ketaatan begitu sulit dan berat untuk dijalani. Godaan mengepung dari segala sisi. Hambatan dan kekhawatiran senantiasa mengikis keyakinan diri. Namun yakinlah, memilih ketaatan dibandingkan kemaksiatan adalah jalan terbaik yang menyelamatkan, yang pada akhirnya akan menyelamatkan di dunia maupun di akhirat.
Dalam perjalanan mensucikan jiwa dengan mengupayakan ketaatan, kita perlu berhati-hati, jangan sampai dengan semua ketaatan yang kita lakukan, kita merasa diri orang suci, merasa menjadi orang shalih, bangga dengan ketaatan dan amal shalihnya, lalu merendahkan orang lain yang menurutnya belum taat dan kurang dalam beramal. Sejatinya itu tipu daya syaithan, yang mana orang shalih pun, tak luput dari godaannya.
Mensucikan jiwa adalah sebuah kewajiban, sementara merasa diri suci adalah sebuah kemaksiatan.
Dalam surat An Najm ayat 32 Allah berfirman,
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Diaah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
Mengenai ayat ini, Syaikh Abdurrahman As-Si’di menerangkan bahwa terlarangnya orang-orang beriman untuk mengabarkan kepada orang-orang akan dirinya yang merasa suci dengan bentuk suka memuji-memuji dirinya sendiri. (Taisir Karimir Rahman).
Rasulullah pun pernah bersabda,
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ
“Janganlah kalian merasa diri kalian suci, Allah lebih tahu akan orang-orang yang berbuat baik diantara kalian.”
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Barangsiapa diberikan musibah berupa sikap berbangga diri, maka pikirkanlah aib dirinya sendiri. Jika semua aibnya tidak terlihat sehingga ia menyangka tidak memiliki aib sama sekali dan merasa suci, maka ketahuilah sesungguhnya musibah dirinya tersebut akan menimpa dirinya selamanya. Sesungguhnya ia adalah orang yang paling lemah, paling lengkap kekurangannya dan paling besar kecacatannya.” (Al-Akhlaq wa as-Siyar fii Mudawah an-Nufus, dinukil dari Ma’alim fii Thoriq Thalab al-Ilmi)
Wallahua’alam bish showwab.
quu_anfusakum
Sumber:
Buku Terjemah Tafsir Juz ‘Amma, Ibnu Katsir.