Ibuku

“Pakai kerudungmu, Kayla…!”

Aku mendengus. Kesal karena lagi-lagi Ibu meminta hal seperti itu. “Repot deh. Nanti aja lah, Bu. Kay buru-buru nih,” ucapku. Satu per satu alat tulis yang tergeletak di atas meja belajar masuk ke dalam tas ransel. Aku memang tengah bersiap untuk berangkat kuliah.

Ibu menghela nafas. Menatap prihatin seraya mengelus dada. Aku semakin merasa jengah.

“Apanya yang repot sih…? Cuma tinggal tempelin aja di kepala. Akan jauh lebih repot nanti urusan kamu di akhirat jika aurat dibiarkan terbuka.” Ibu menarik sehelai kerudung berwarna pink dari dalam lemari pakaianku, lalu meletakkannya di atas meja.

“Bu, sudahlah, Kay mohon….” Aku merengek nelangsa. Entah kenapa sulit sekali membuatnya mengerti bahwa aku berhak membuat pilihan sendiri. Umur dua puluh tahun termasuk sudah dewasa, bukan?!

Ibu tertunduk lesu. Aku yakin, tak lama lagi akan meneteskan air mata.

“Kasihan Papamu, Nak….”

Tuh, kan?! Lagi-lagi ibu menyebut soal ayah yang sudah wafat. Kejadian seperti ini terjadi hampir setiap hari, sejak aku memutuskan membuka kerudung dikarenakan merasa belum siap dan terbebani.

Akhirnya aku berangkat kuliah tanpa pamit kepada Ibu, yang sudah terlanjur kecewa. Wanita yang membesarkanku itu juga meninggalkan kamar tanpa mengatakan apa pun.

Seusai kuliah aku memutuskan untuk tidak pulang ke rumah Ibu. Melainkan mampir ke rumah wanita yang biasa ku panggil ‘mama’, yaitu wanita yang melahirkan diri ini.

Mama dan Papa bercerai saat aku berusia tiga tahun. Pengadilan menjatuhkan hak asuh kepada papa yang kebetulan saat itu tinggal bersama seorang adik perempuan, seorang tante, yang di kemudian hari, aku memutuskan untuk memanggilnya ‘ibu’.

Meski memiliki orang tua yang bercerai, aku tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Ibu merawatku seperti putri kandungnya sendiri. Kami saling mengasihi dan menyayangi. Apalagi sejak papa wafat satu tahun lalu, hubungan kami semakin dekat, erat.

Namun akhir-akhir ini, aku merasa ada yang berubah dengan hubungan kami. Entah kenapa sepertinya Ibu tak lagi mengerti akan putri yang telah dibesarkannya sejak usia tiga tahun ini.

“Assalamualaikum…!” Aku meneriakkan salam saat tiba di rumah yang tergolong mewah itu. Rumah Mama dan Papa tiriku

Cukup lama kaki ini berdiri di depan pagar, tanpa ada yang membukakan pintu. Aku juga berkali-kali mengirim pesan ke nomor telepon selular Mama, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Meski terik cuaca membuat keringat menetes dari pelipis, Aku tetap sabar menunggu. Sebab, jika harus pulang ke rumah Ibu, masih belum siap untuk bertemu, kami pasti kembali berseteru.

Hingga akhirnya terdengar suara adzan dari masjid terdekat, aku memutuskan untuk mampir ke masjid tersebut, shalat Ashar dan sekalian berteduh.

Seusai shalat aku duduk di teras masjid. Sesekali mengusap layar telepon selular, hingga saat ini, Mama masih belum bisa dihubungi. Aku mendesah seraya meluruskan lutut yang semula ditekuk. Pundak terasa lunglai akibat rasa lelah.

Beberapa menit kemudian ada bunyi notifikasi, aku pikir Mama membalas pesan, tapi ternyata bukan. Pesan itu dari Ibu.

[Sudah sampai mana, Kay? Untuk makan sore ibu sudah masak opor kesukaan kamu. Hati-hati di jalan ya, Nak.]

Entah kenapa tiba-tiba air mata menetes saat membaca pesan itu. Entah karena terharu perihal opor ayam, entah karena sedih perihal kejadian pagi tadi sebelum berangkat, entah karena lelah setelah menyelesaikan aktivitas sebagai mahasiswa, atau karena kecewa pada Mama yang hingga kini tak bisa dihubungi.

Teringat akan Mama, aku jadi teringat juga percakapan kami berdua satu bulan lalu. Mama lah yang menyarankan untuk membuka kerudung.

“Kamu masih muda, Kay. Masih harus puas-puasin bergaul. Jangan mau terikat pada aturan yang dibuat papa dan ibumu. Kamu sudah dewasa, harus bisa membuat keputusan sendiri.” Begitu kata beliau. Mama memang sedikit sinis kalau membahas soal agama, tidak seperti Papa dan Ibu. Entah kenapa.

“Tapi menutup aurat kan kewajiban dari Allah, Ma, bukan Papa atau Ibu yang buat,” sanggahku kala itu.

“Iya, Mama juga tahu. Tapi kan, gak harus buru-buru. Nantilah, kalau sudah umur lima puluh, atau enam puluh gitu. Sayang loh, rambut kamu yang tebal dan sehat itu, nanti malah rontok.” Wanita cantik itu menyibak rambutnya yang ikal dan halus dengan lemah lembut.

Mama memang cantik, penampilannya juga cukup menarik, rambutnya yang panjang sepinggang terawat dengan baik. Ia orang yang pandai merawat diri. Aku sering dinasihati untuk rajin merawat diri. “Jangan seperti ibumu yang penampilannya jadul itu,” kata Mama. “Penampilan kok kayak pembantu, pantas saja gak ada yang mau jadiin mantu!”

Sejujurnya, aku merasa sedikit terganggu mendengar Mama bicara seperti itu tentang Ibu. Namun kemudian berpikir bahwa setiap orang berhak memiliki pendapat masing-masing. Jadi ku biarkan saja. Apalagi Mama bilang, nasihat-nasihat itu diucapkan semata-mata karena ia menyayangiku.

Memang betul Ibu belum menikah hingga hari ini, usia beliau sudah melewati tahun ke empat puluh. Bukan, bukan tidak laku atau tidak ada yang mau.

Aku ingat, pernah beberapa kali datang seorang pria, meminang Ibu kepada Papa yang dulu masih ada. Beliau juga pernah punya teman dekat laki-laki. Tapi tak ada satu pun yang berhasil hingga ke pelaminan. Saat masih kecil aku tidak pernah diberi tahu tentang alasannya, tapi setelah beranjak remaja, aku mulai mengerti bahwa salah satu alasannya adalah kami–aku dan Papa. Ibu khawatir jika ia menikah kami tidak ada yang mengurus. Ia juga takut aku merasa diabaikan atau ditinggalkan. Namun tentu saja aku berharap Ibu bisa bahagia dan menikah dengan laki-laki pujaannya. Aku amat berterima kasih karena ia telah mengorbankan masa mudanya mengurus kami.

Semakin banyak mengingat, air mata menetes semakin deras. Para jamaah masjid yang kebetulan lewat di depanku menatap heran juga iba.

‘Kasihan Papamu, Nak….’ Terngiang kembali kata-katanya tadi pagi. Tangisku semakin menderu.

“Astaghfirullah Al azhiim….” Bibirku bergumam.

Betapa diri ini telah mengecewakan dua orang terkasih itu. Ibu yang telah membesarkanku, dan juga Papa yang pernah berkata bahwa ia ingin kami berkumpul kembali di surga-Nya nanti.

Aku membuka resleting ransel, lantas mengeluarkan kerudung yang ku bawa, langsung saja ku kenakan saat itu juga. Kerudung itu sempat dipakai saat berangkat dari rumah, namun ku lepaskan lagi saat menaiki angkutan umum. Sepenuh hati aku berjanji, tak akan menanggalkannya lagi

Terburu-buru diri ini berjalan keluar dari masjid. Aku bahkan mengabaikan panggilan telepon Mama, panggilan yang telah lama ditunggu. Aku hanya ingin pulang, ke rumah di mana wanita yang mendidik dan membesarkanku tengah khawatir menunggu, ibuku.

Selesai.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *