Ingin Pulang, Tapi Tak Punya Tempat Untuk Pulang

Telah satu jam Anik berada di taman. Kadang ia duduk, kadang berjalan-jalan memutari area fasilitas umum tersebut. Beberapa orang yang mengenal siswi SMA kelas tiga itu menyapa dan bertanya sedang apa. Anik hanya menjawab seadanya saja.

Waktu pulang sekolah sudah lewat tiga jam yang lalu. Anik tak lantas kembali ke rumah, ia mengunjungi kediaman ustadzah Aliya, guru ngajinya. Wanita paruh baya itu menatap heran saat tahu maksud kedatangan Anik.

“Memangnya kamu sudah ada calon, Nik?” tanya sang ustadzah.

Anik menggeleng.

“Kamu bahkan belum menyelesaikan SMA, Nak….”

“Iya, Umi, memang … cuma ya … maksudnya, biar pas lulus langsung nikah aja, gitu loh….”

“Memangnya Kamu gak mau kuliah?”

Kembali Anik menggeleng. Tidak ada sama sekali keinginan di dalam dirinya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

Selama mereka bicara, ustadzah Aliya lebih banyak menampakkan kebingungan di wajahnya. Sampai akhirnya gadis itu memutuskan untuk pamit, sama sekali tidak ada kepastian bahwa beliau bersedia atau tidak.

Anik juga tahu, permintaannya memang sedikit konyol. Ia minta dicarikan calon suami pada ustadzah Aliya, padahal, lulus SMA saja belum. Memang hanya tinggal ujian kelulusan, tapi tetap saja, ia ingin segera menikah.

Mengapa?

Karena Anik ingin punya rumah sendiri. Rumah tempat ia bisa pulang dan tinggal dengan tenang. Bukan maksudnya rumah milik pribadi, hanya tempat di mana ia bisa merasa dimiliki.

Ada sebuah rumah, di mana Anik kini tinggal di dalamnya. Bersama orang-orang yang disebut keluarga. Tapi ia tak pernah merasa menjadi bagian dari mereka.

“Ini makanan buat yang punya rumah, ya…,” ucap seorang tetangga. Tadi pagi ia datang membawa tiga susun rantang berisi makanan yang wanginya tajam, menyerbu Indra penciuman. Ia menatap tak suka saat tahu di rumah hanya ada Anik saja.

Gadis yang memang kebetulan sedang lapar karena belum sarapan itu, seketika kehilangan nafsu makan.

‘Buat yang punya rumah.’ Kata-kata itu terngiang.

Kalau ia boleh menebak, yang dimaksud dengan ‘yang punya rumah’ oleh si tetangga adalah kakak sulung Anik, yang juga tinggal di rumah yang sama yang Anik tinggali.

Selain dirinya, rumah itu juga dihuni oleh kakak sulungnya yang sudah berkeluarga. Dewi namanya, seorang wanita karir yang bekerja di sebuah perusahaan produsen pakaian, memiliki dua orang anak yang sehari-hari dirawat oleh pengasuh bayaran. Suaminya bekerja sebagai pelayan di sebuah toko makanan.

Ibu kandung Anik wafat delapan tahun lalu. Sementara ayahnya telah menikah lagi dan pindah ke rumah istri barunya.

“Kamu gak mau pulang, Nik?” Ia mendengar suara seseorang bertanya.

Suara itu milik, Nisa, seorang teman yang tinggal di sebuah rumah yang lokasinya tak jauh dari taman.

Anik tersenyum pada Nisa. Namun senyumnya dibalas dengan tatapan prihatin.

“Sebentar lagi kakakmu pulang, kalau tahu Kamu seperti ini, pasti dia marah-marah lagi,” ucap Nisa.

Anik hanya tersenyum. Tak berselera mengatakan apa pun. Tak apa juga jika kakaknya marah, ia sudah terbiasa. Seperti tadi pagi saat ia hendak berangkat sekolah. Dewi memberikan ongkos sambil menumpahkan kekesalan.

“Sudah susah biayain anak dua, sekarang harus biayain kamu juga!” Dewi melesakkan sejumlah uang ke telapak tangan kiri Anik. “Jangan lupa masak sama beres-beres rumah! Jangan mau enaknya aja, Kamu!”

Ah, seandainya Anik bisa segera lulus dan punya pekerjaan. Ia tak harus bersikap seperti pengemis setiap pagi. Tentu Anik tak keberatan jika harus memasak dan beres-beres rumah, dengan senang hati ia akan melakukannya. Hanya saja, terkadang ia rindu diperlakukan seperti layaknya penghuni sebuah rumah, disapa dengan ramah tamah, diterima apa adanya, diajak bicara dengan baik tentang apa saja. Seperti waktu dulu, saat ibunya masih hidup dan menjadi ratu di rumah mereka.

Ditambah lagi ia harus berinteraksi dengan kakak ipar yang selalu membuat serba tidak nyaman. Kakak ipar Anik baik sebenarnya, tapi tetap saja ia tak bisa bebas jika berada di dalam rumah, harus tetap memakai kerudung, tetap menjaga sikap dan kehormatannya. Ah, melelahkan rasanya.

Ya, Anik memang lelah, dari zahir hingga ke batinnya.

“Kamu mau pulang ke rumahku?” Nisa bertanya.

Anik menggeleng lemas. “Aku mau pulang sekarang,” ucapnya seraya bangkit dari duduk. Ia berjalan keluar dari taman dengan langkah lunglai.

“Sabar dulu ya, Nik….” Gadis itu bergumam pelan. Bicara pada dirinya sendiri. “Nanti, akan tiba saatnya….”

Anik memang harus bersabar. Sebelum keinginannya terpenuhi, baik itu memiliki pekerjaan sendiri atau menikah dini, ia masih harus menghadapi kenyataan, bahwa ia hanya punya satu tempat untuk pulang, yaitu rumah peninggalan ibu yang kini ia huni bersama sang kakak dan keluarganya.

Selesai.

Salam sayang untuk semua yang masih harus bertahan di situasi sulit dan menyakitkan. Tidak ada perjuangan yang menghasilkan hanya kesia-siaan. Allah tahu lelah yang kaurasakan, Allah tahu keluh kesah yang kaubisikkan. Allah mendengar semua doamu.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *